raisya


 
Gempar. Gaduh. Bising.
Pagi ini ketika aku memasuki kelasku , aku tak menemukan wajah-wajah kebosanan ketika akan mulai pelajaran Kewarganegaraan, yang notabene, hampir semua anak tidak menyukai gurunya. Aku benar-benar heran.
Kuletakkan tasku di meja yang memang biasa kutempati.
“Ada anak baru di kelas sebelah. Cewek.” Adi membisikiku. Aku mengangguk. Paham.
Namanya Raisya. Kutahu dari seorang temanku yang benar-benar mengaguminya, yang tentu saja Adi. Hmm, cantik, baik, ramah, supel, kita semua mengaguminya. Plus pintar. Hampir sempurna. Dia anak baru pindahan dari SMA di Jakarta. Kalau aku laki-laki, aku akan langsung jatuh cinta padanya, ketika semua laki-laki juga berpikiran begitu.
“San, cinta itu dating katika seseorang sedang dilanda kebimbangan.” Adi mulai mengajakku bicara. Sejak bisa mengenal Raisya, Adi begitu puitis ketika berbicara. Kalau bisa kukatakan, lebay. Berlebihan. Tapi mungkin memang seperti itulah ketika orang sedang mengagumi seorang wanita. “San, katika kau mendengar orang yang kau kagumi berbicara, kau akan merasa seolah kau mendengar bunyi gemericik air yang menyejukkan. Kau akan lupa segalanya, San, dan ketika kau melihatnya tersenyum, kau akan mabuk dibuatnya. Kau benar-benar bisa lupa dibuatnya.” Dia kembali menggebu-gebu memamerkan ceritanya.
“Kamu sudah berhasil mengajaknya berbicara?” Tak terasa aku juga penasaran. Aku ingin tahu, bagaimana sebenarnya Raisya menanggapi teman barunya yang ubilang lebay itu.
“Ya….” Adi hanya mampu menjawab begitu. “Kami berbicara tentang masa lalu yang menjadi alasan kenapa dia harus pindah ke Yogyakarta. Tentang masa lalu yang membuatnya menjadi seorang perempuan desa. Padahal kamu sendiri juga tahu, SMA-nya adalah SMA Internasional di Jakarta. Kamu juga tahu, bagaimana perbedaan perempuan kota dengan perempuan desa yang begitu mencolok. Dia bisa mengatasinya. Dia rela memakai jilbab besar demi menyesuikan dengan SMA ini. Dia tidak pernah tinggal di pesantren, tapi dia tahu banyak tentang agama.”
“Lalu?”
“Dia benar-benar berbeda dari perempuan-perempuan yang kukenal sebelumnya. Kecantikannya berbeda. Cara dia berbicara juga berbeda dari ketika dia pertama masuk dan memperkenalkan diri dengan bahasa Jawa.” Adi merenung, seperti ketika dia sedang berpikir sesuatu. “Sebenarnya aku tidak tahu bagian mana yang paling membuatku kagum padanya. Aku nyaman ketika mendengar dia berbicara. Hanya itu, kukira.” Lanjutnya, kembali merenung. Diam. Kita kembali diam dalam pikiran masing-masing.
__
Seminggu ini, semua orang masih dalam rutinitasnya. Para guru mengajar dengan baik. Para siswa belajr dengan baik. Tukang kebun bekerja dengan baik. Begitulah alur. Keributan tentang Raisya lama-lama menjadi berkurang. Hanya beberapa orang saja yang masih membicarakannya. Adi juga sudah tidak mengungkit lagi tentang pertemuannya dengan Raisya, yang tentu saja tak sengaja, seminggu yang lalu. Lalu aku benar-benar masih menikmati rasa penasaranku tentang sesosok Raisya, yang kukira tidak hanya membawa perubahan untuk Adi.
Sejak Adi membicarakan tentang pengetahuan agama Raisya yang melebihi siswa yang lain kepada Sie Kerohanian OSIS, mentor kajian diganti Raisya. Sekarang banyak siswa yang mengikuti kajian tersebut di Musholla Sekolah. Aku sebagai salah satu anggota OSIS juga merasa senang. Setidaknya anggaran untuk mentor kajian yang sebelumnya mengambil dari orang luar, sekarang bisa dikurangi, mengingat mentor kajian adalah siswa SMA sendiri.
“San, tolong bicarakan kembali tentang kajian itu dengan Raisya. Aku ingin kajian ini mulai terorganisir dengan baik mengingat banyaknya teman-teman yang mengikui kajian ini.” Kata Riyan ketika tiba-tiba memanggilku. Riyan adalah ketua OSIS di SMA ini. “Aku akan berikan alamat dan nomor handphonenya. Sebaiknya pembicaraan seperti ini tidak dibicarakan di sekolah. Takutnya kalau malah mengganggu.” Lanjutnya. Kemudian Riyan juga memberikan banyak hal yang harus dibicarakan antara aku dengan Raisya.
Aku memang mengerti banyak mengenai pengaturan organisasi, pengaturan system kerja di organisasi seperti ini. Karena itu, wajar ketika Riyan memanggilku.
__
“Tutttt….”
Malam ini, aku menghubungi Raisya. Besok hari minggu, rencanaku ingin berkunjung ke rumahnya untuk membicarakan tentang kajian di sekolah. Tetapi sudah sejam yang lalu aku menghubunginya, tidak pernah ada jawaban. Kukirimkan beberapa pesan, juga tidak ada jawaban. Akhirnya aku membiarkannya, mungkin besok aku akan menghubunginya lagi, toh aku juga sudah mengirimkan pesan ingin berkunjung ke rumahnya, pikirku. Lalu aku tidur.
__
“Assalamualaikum, Santi maaf tadi malam aku ada acara.” Jawabnya ketika aku menghubunginya. “Tutttttt.” Putus.
“Ada apa?” Tanyaku dalam hati.
Keputusanku, aku akan ke rumahnya pagi ini. Aku ingin segera menyelesaikan tugas ini, lalu kembali dengan pelajaran. Menyelesaikan tugas sekolah. aku sudah membicarakannya dengan Riyan, hari ini aku akan mengunjungi Raisya.
Kukenakan kerudung abu-abu yang serasi dengan jas almamater sekolah. Kuteliti kembali semua yang akan kubicarakan dengan Raisya. Lengkap, bisikku. Bismillah, semoga Raisya bisa bekerja sama dengan OSIS terkait perubahan jadwal dan beberapa materi yang memang harus disampaikan sesuai dengan jadwal mentoring baru, yang mungkin akan mengganggunya ini.
__
Kalau ada orang yag mau mendengar keluhanku, aku benar-benar ingin mengeluh. Yogyakarta memang jarang panas, tetapi hari ini sangat panas. Jalanan yang kulalui juga sangat ramai. Beberapa kali macet. Tetapi Alhamdulillah, aku bisa mengatasinya dengan melewati perumahan yang dengan secara tidak langsung, aku tidak melewati jalan raya.
Alamat Raisya kurang lengkap. Beberapa kali kutanyakan pada tukang becak di pinggir jalan. Mereka juga kurang paham. Beberapa kali pula, aku salah memasuki gang. Tanpa lelah, aku kembali mencari perumahan tempat dia tinggal. Akhirnya kutemukan sebuah rumah kecil disamping warung kopi yang cocok dengat alamat Raisya.
“Maaf, Bu, mau Tanya, apakah alamat ini benar disini?” Kusodorkan catatan alamat yang diberikan Riyan kepada ibu-ibu penjual di warung kopi itu. “Rumah teman saya, Raisya.”
“Oh, enggih, Mbak.  Tetapi Icha sedang pergi.” Jawab Ibu itu dengan ramah, khas orang Yogyakarta. Senyum.
“Tumben, biasanya yang mencari perempuan jalang itu lelaki tua.” Kata seorang ibu yang kebetulan sedang mampir di warung itu. Sinis. Dahiku berkerut.
Ibu penjual di warung kopi menimpalinya dengan tatapan kepada ibu pembeli. Aku tidak tahu maksudnya, tetapi tanpa sadar aku melihat Raisya dalam pelukan seorang laki-laki keluar dari mobil. Aku pamit.
__
“Dulu kau pernah bercerita, bahwa kau dan Raisya pernah membicarakan tentang masa lalunya. Tapi kau tidak bercerita tentang apa yang kau bicarakan kepadaku, Adi.” Sergahku di telpon malam itu.
“Aku hanya bisa menilainya berbeda, San. Butuh seseorang yang bisa menilainya dengan sebaik-baiknya. Kita tidak tahu bagaimana seseorang itu di mata Allah. Kita hanya mengira-ngira bukan? Tanpa kita sadari sebenarnya kita ini siapa….”

                                                                                    Surabaya, 1 November 2011


Postingan populer dari blog ini

Huququl Qorobah (Hak-hak Kerabat/saudara)

Catatan Ramadhan : Adabul Mu'asyaroh (Adab-adab dalam pergaulan)

#Masak : Sushi Lele