lawang
Kau
menyebutnya lawang. “Kenapa?” begitu tanyaku ketika kau menunjukkan buku
lumayan tebal dan sampulnya sudah berantakan. Disana sini ada bekas gigitan
rayap yang membuat buku itu menjadi angker. Buku kuno, batinku. Bukankah lawang
itu pintu. Daun pintu maksudku, dalam bahasa Jawa. Aku bertanya-tanya dalam
hati.
“Dari
sini aku belajar hidup, Tan.” Kau merenung. Seperi mengingat-ingat apa yang kau
susun untuk dibicarakan denganku sore ini. Lalu tersenyum sendiri.
“Hei,
ada apa, Dan?”
___
Masa
itu tak pernah hilang dari ingatanku.
Rebutan kokoa yang dipetik dari
tetangga kita. Lalu bermain petak umpet, yang pastinya kau selalu curang.
Bermain boneka, bermain kelereng, gobak
sodor, sampai ketika orang tua kita meneriaki untuk berhenti karena azan
maghrib sudah berkumandang. Tetapi tetap saja kita bermain sampai benar-benar
lupa waktu. Lalu orang tua kita menjewer dan membawa kita masuk rumah. Dan kita
menjerit.
Masa itu tak pernah hilang dari
ingatanku.
Sekolah berangkat bersama. Dari TK
sampai SMP kita selalu sekelas, tetapi kau tak pernah bisa dikalahkan dalam
prestasi. Kau selalu juara pertama dan aku kedua. Selalu begitu bertahun-tahun,
sampai kadang diam-diam aku protes dengan orang tuaku untuk pindah sekolah agar
aku juga bisa meraih juara pertama, dan jawaban mereka selalu sama. Tersenyum
dan menggeleng.
“Biar nganter sekolahnya bisa bareng-bareng, Tania Sayang. Bapak kan
langsung ke sawah. Jadi kau bisa diantar Pakdhe.” Ibu mengelus rambutku yang
saat itu masih lembut.
“Bu, tapi aku tak bisa juara pertama
selama aku masih sekelas dengan Dani…” Aku ngotot memberikan argument
kekanak-kanakanku. Ibu hanya tersenyum.
“Kalau ingin seperti Dani, belajar
yang rajin. Ibadah juga. Sudah..sana siap-siap untuk berangkat sekolah. Pakdhe
sudah menunggu.”
Aku berlari menuju rumah Dani. Kami
berangkat bersama. Seperti biasanya. Bertengkar sedikit. Rebutan makanan bekal
yang dibuatkan Budhe untuk kami. Lalu rebutan salim dengan kedua orang tua kami. Dan berangkat, seperti kepergian
lama yang akan meghabiskan waktu lama di perantauan. Itu berulang berkali-kali.
Setiap hari.
Masa itu tak pernah hilang dari
ingatanku.
Ketika kita sama-sama bercerita pada
alam tentang impi kita masing-masing. Ketika kita duduk di pinggir kali sambil menunggu ikan-ika memakan umpan.
Sambil melayarkan perahu kertas yang kita buat di sekolah tadi.
“Aku ingin jadi guru.” Kata Dani.
Lalu menerawang.
“Kenapa, guru?”
“Guru itu pahlawan tanpa tanda jasa.”
“Hei, tidakkah kau lihat, sekarang
ini banyak sekali orang yang berebut ingin menjadi guru. Tahu kenapa?
Tunjangannya banyak, Dan. Siapa bilang tanpa tanda jasa?” aku mengelak atas
ungkapan itu. Bahkan semua orang akan menentangku karena pernyataan itu. Bahkan
Lagu Pahlawan Tanpa Tanda Jasa-nya Sartono menjadi lagu nasional.
“Kau benar, Tan. Tak ada yang salah
dengan argumenmu. Aku sendiri juga heran kenapa aku ingin menjadi guru. Tania, ketika
kau menjadi guru, kau akan menjadi orang paling berjasa. Kau akan menjadi
malaikat bagi mereka, murid-muridmu. Tangan Tuhan akan selalu membantumu,
membantu orang-orang yang senang dengan membantu.” Dani tersenyum. Dani memang
seperti itu, misterius. Tak pernah mau menjelaskan kata-katanya yang bisa
dibilang absurd. Bahkan ketika guru kami bertanya, dia memjawab dengan
kata-kata yang kemudian membuat kami sekelas mengerutkan kening. Dan Dani? Dia
hanya tersenyum. Tersenyum. Seperti dunia mendukungnya. “Diam, Tan?” Dani
mengagetkanku.
“Kau selalu berkata seperti itu, Dan.
Seolah-olah aku harus tahu apa yang kau maksud.” Aku masih berwajah bingung.
“Tak ada yang perlu dibingungkan,
Tania. Sekarang ceritakan impianmu…” kata Dani mengalihkan pembicaraannya. Aku
menggeleng. Gantian Dani yang mengerutkan keningnya.
“Dan, aku masih belum percaya ada
orang yang kurang mampu seperti orang tuaku yang bisa mewujudkan cita-cita
anaknya.” Aku menunduk.
“Kau tak percaya?” aku menggeleng.
“Sama sekali. Tapi, aku punya satu
keinginan. Aku ingin kau tak akan pernah pergi dari desa ini. Kita sama-sama
membangun desa ini. Kau kan tahu, hanya kita yang sekolah sampai bangku SMA?
Apapun impianku nanti.” Dani menangis. Aku tidak tahu apa yang dia tangisi.
Masa itu tak pernah hilang dari
ingatanku.
Ketika kau tiba-tiba memelukku.
Mengelus rambutku yang saat itu masih dikepang dua. Lalu kita menangis bersama.
Sama-sama menyadari kalau kita adalah diantara orang-orang itu. Ayahmu sopir
angkutan di kota besar yang selalu menjadi sopir pribadi kita ketika berangkat
sekolah. Ayahku seorang petani yang mengurusi tanah orang.
“Hanya satu yang bisa membuat kita
yakin akan mimpi kita, Tan. Lawang.” Kau berhenti menangis. Lalu mengajak
pulang.
Dan aku? Aku sama sekali tak mengerti
apa yang sebenarnya sedang kau bicarakan. Kita berjalan bersama. Kaki
telanjang, tangan memegang kresek tangkapan ikan. Muka berantakan. Kita
menoleh, sama-sama melihat halaman sekolah menengah atas di balik sungai tadi.
Sama-sama berkata dalam hati, ‘dimana sekolah lanjutan yang akan menerima
kami?’
Masa itu tak pernah hilang dari
ingatanku.
“Hei, lihat! Nilai Ebtanas kita sama,
Tan.” Kau berteriak dari belakang ketika aku masih sibuk dengan kebaya
sempitku. Wisuda SMA. Aku melongo.
“Setidaknya nilaiku pernah sama,
meskipun aku tak bisa melebihimu, Dan.” Celetukku. Kau melirikku. Lalu kita
tertawa bersama.
Ini masa bahagia yang tak pernah
kulupakan. Ketika orang tua kami menangis, tahu bahwa nilai kami tidak hanya
tertinggi di sekolah, tetapi di sekolah seluruh kota Yogyakarta. Ketika Pak
Sutoyo, wali kelas kami, juga mengabarkan atas diterimanya Dani di Universtas
Negeri Yogyakarya dengan beasiswa dari Pemkot. Kami bahagia, meskipun hatiku
mash bergejolak, ‘akan kemanakah aku?’
Pikiranku melayang kemana-mana.
Menjadi petani, ya, aku sudah terbiasa membantu orang tuaku di sawah. Atau
menjadi tukang cuci piring di kota, ya, tidak apalah yang penting aku masih
bisa sedikit-sedikit membaca buku. Lalu suatu saat ketika Dani lulus, kami bisa
melanjutkan impian untuk membangun desa.
Masa itu tak pernah hilang dari
ingatanku.
Ketika sepulang dari acara purna
wisuda di SMA, Ibu berlari buru-buru memanggil Bapak untuk mengantarkannya ke
rumah sakit. Ada sesuatu, batinku.
“Nduk, jaga rumah ya. Ibu sama Bapak
keluar rumah dulu. Nanti kalau ada orang yang mencari, bilang saja, sedang
keluar.” Aku mengangguk.
Masa itu tak pernah hilang dari
ingatanku.
Ketika Bapak menjemputku ke rumah
sakit dengan sepeda motor, yang ternyata disana Dani sudah menunggu di atas
dipan sebuah ruang. Dani tersenyum. Ada apa? Batinku. Dani sakit. Ketika
bermain, dia tak pernah sedikitpun bercerita dengan sakitnya. Dia tak pernah
kelihatan sakit, pucat ataupun yang lain.
“Bagaimana, Tan, persiapanmu untuk
kuliah? Selamat atas diterimanya di Universitas Negeri Yogyakarta. Aku titip
lawang padamu, nanti, ketika suatu ketika Tuhan sudah menginginkanku kembali.”
Dani tersenyum. Seperti tak ada beban yang ada di pikirannya. “Aku baru
menyadari, ternyata vertigo ini sudah menyerangku sejak lama. Sejak aku
menemukan buku yang kau bilang kuno itu. Tan, hidup tak sesulit yang kau kira.
Banyak orang di luar sana yang bisa hidup dengan anggota tubuh yang tak
sempurna.” Kau menghela nafas. Orang tua Dani sudah menangis sesenggukan. “Aku
titip semuanya padamu, Tan. Guru, desa kita dan lawang itu. Lawang yang
menghubungkan kita dengan alam. Lawang yang sebenarya adalah jalan hidup kita.”
Kau tersenyum. Aku mengangguk, meskipun aku masih berharap tak ada apa-apa
denganmu nanti, Dan.
Masa itu tak pernah hilang dari
ingatanku.
Sehari setelah Dani dimakamkan dekat
makam neneknya, aku membuka buku kuno yang pernah diperlihatkannya padaku. Aku
menangis. Tak pernah terpikirkan kalau isinya adalah tafsir al Quran dan kata
mutiara dari ulama-ulama besar, sahabat nabi. Aku benar-benar menangis. Menyadari
kalau yang terbaik itu memanglah kau, Dan, meskipun sekarang beasiswa dari
Pemkot dialihkan kepadaku, Dani tetap yang terbaik.
____
Dan masa itu tak pernah hilang dari
ingatanku…
Surabaya,
28 Desember 2011