Tariyem Kliwon
“Berita
apa lagi, Jeng?” bukannya kemarin yang itu udah dibicarakan?” sahut Bu An.
“Oh
diulangi lagi maksudnya?” sahut Bu Sarti.
“hfvhrtij%*&####.”
Ini
bukan rahasia lagi. Semua orang di kampung ini tahu, wanita yang sering pulang
malam dan mengaku sebagai dosen yang mendapat jatah mengajar di malam hari itu
adalah bohong belaka. Semua orang kampung juga tahu, wanita yang sering keluar
rumah Pak Dali setiap petang itu bukan kemenakan Pak Dali. Kenapa semua diam
tidak ada yang mau mengingatkan?
Namanya Tariyem Kliwon. Mbak Tari
atau Miss Tee kami, orang kampung biasa memanggilnya. Sedikit aneh. Tetapi, ya
sudahlah. Dia tak ingin diketahui nama aslinya yang, semua orang juga tahu, ndeso atau kampugan untuk ukuran tahun
2012. Tapi entah siapa yang mencari tahu berita tentang nama Tariyem Kliwon itu
tersebar di kampung.
Berita tenteng Mbak Tari selalu
menjadi berita hangat warga kampung. Setiap perbuatannya selalu menjadi obrolan
yang membuat ibu-ibu rumah tangga yang selesai melaksanakan pekerjaannya betah
duduk berjam-jam untuk membicarakannya. Entah tentang Mbak Tari yang dijemput
mobil merk mana saja, ibu-ibu itu bak surat kabar yang berjalan, pasti tahu
detail. Selalu saja bisa membedakan mobil dan penjemputnya. Kalau gelagatnya
seperti itu, anak kecil pun tahu Mbak Tari bukan seorang dosen. Tapi entahlah.
Namaku Ridho. Beberapa tahun yang
lalu, aku masih merasakan damainya warga kampung yang saling menyapa, bukan
malah saling berkerumun untuk membicarakan orang lain. Beberapa tahun yang
lalu, aku masih bisa merasakan bapak-bapak yang ronda setiap malam sambil
mendengarkan radio, bukan malah diseret istri-istri mereka agar tidak melihat
kepulangan Mbak Tari, wanita yang mempunyai nama ndeso tetapi cantik bak artis
ibu kota itu.
***
“Bu Dosen Tari cantik ya, Mak?”
basa-basiku keluar untuk mengusir kecanggungan Emak dan Bu Sarti,.
“Cantik? Itu seperti kena plastik,
Le…” jawab Emakku.
“Operasi plastik, Jeng.” Sahut Bu Sarti.
“Le, kamu ini jangan suka dengan perempuan seperti itu. Kamu tingkatkan ngajimu
biar nanti dapat istri putrid kyaimu yang cantik itu. Siapa namanya…” bu Sarti
menimpali.
“Saya kan hanya bilang, Bu Dosen Tari
itu cantik, Bu Lek.”
“Ah..terserah kamu lah.”
“Kalau semua orang ramai
membicarakan Mbak Tari seperti sekarang ini, apa Mbak Tarinya ngerasa sedang
dibicarakan, Bu Lek?” tanyaku.
“Dia tak tahu malu, Le. Sudahlah,
membicarakannya hanya membuat Bu Lekmu ini naik darah. Sakarang Sartiritakan
kepada Bu Lekmu ini, keponakan Bu Lek yang sudah lama membujang ini, apa sudah
memdapatkan calon menantu unu Emakmu yang kesepian ini?” Bu Sarti menggodaku.
Umurku memang sudah kelewat tua untuk ukuran pemuda seumuranku yang rata-rata
sudah beranak-istri ini. Tapi menurutku aku masih muda. Aku masih ingin mencari
ilmu sebanyak-banyaknya, lalu membangun kampung yang tertinggal dari
kampung-kampung sebelah.
“Kalau kamu terus-terusan begini,
sampai tua Emakmu yang ingin Sartipat-Sartipat menimang cucu ini keburu
meninggal, Le.”
“Emak kok ngendiko seperti itu to?”
“Lha kamu ini lho…”
***
Ini pagi kesekian kali aku menghirup
udara kampung yang masih bersih, jauh dari udara beracunnya kota. Masih ingat
dibenakku ketika tiba-tiba aku bertemu dengan Mbak Tari, ‘artis’ kampung yang
sdang naik daun itu.
“Saya perhatikan, sampeyan ini warga baru atau…” Mbak Tari
tiba-tiba menyapaku yang sedang duduk-duduk di balai-balai depan rumah yang
kebetulan dekat dengan rumah Pak Dali.
“Saya asli warga kampung sini, Mbak.
Kebetulan lama di ibu kota. Ya, ini acara kangen dengan orang tua yang tinggal
satu-satunya. Eh…malah Sartirita.” Aku salah tingkah. Jarang berbicara dengan
wanita yang bukan keluarga.
“Oh…saya pikir. Perkenalkan saya…”
“Mbak Tari. Nama lengkapnya Tariyem
Kliwon. Dosen perguruan tinggi swasta yang ada di pinggir kota, bukan?” aku
tersenyum. Mbak Tari juga.
“Saya kok terkenal sekali di desa
ini. Terkadang saya heran. Sehari-hari saya bekerja pulang malam, Jarang
berinteraksi dengan warga, tetapi kalau keluar pasti ada yang tahu nama saya.
Pak Dali bilang, itu karena saya cantik. Padahal saya ini tidak pernah
perawatan di salon-salon mahal seperti kebanyakan gadis yang mempunyai wajah
cantik di kota-kota besar itu lho. Saya hanya menjalankan perintah kyai saya.
Wudlu, mandi di sepertiga malam lalu olah raga dengan cara sholat malam,
memperbanyak puasa biar langsing. Meskipun, ya…saya belum bisa berjilbab
seperti yang sampeyan lihat ini.
tetapi sebisa mungkin saya menutup aurat kok. Oh ya, nama sampeyan siapa?”
“Ri…Ridho, Mbak.” Jawabku sekenanya.
Aku masih benar-benar heran dengan manusia yang duduk di kursi depanku ini.
“Maaf ya, Ridho…saya kebanyakan Sartirita. Maklum,
jarang ada orang di desa ini yang mau berbicara dengan saya. Kecuali Pak Dali
dan keluarganya itu.”
“Nggak
apa-apa, Mbak. Jujur ya, saya heran setengah mati. Apa Mbak Tari ini tidak tahu
warga kampung selalu membicarakan kejelekan sampeyan yang selalu dijemput
laki-laki berbeda tiap harinya? Yang selalu pulang malam tiap harinya? Atau
bagaimana?”
“Saya tidak pikir panjang soal itu,
Dho. Oh ya, panggil Tari saja ya, saya pikir kita sebaya. Hehe…” jawabnya
santai.
***
“Kamu melamun, Le?” Emak
mengagetkanku.
“Mboten,
Mak. Saestu…”
Yogyakarta, 28 Agustus 2012