Catatan Random : Menjadi



Kata orang, bercerita itu menguntungkan dalam dua hal. Yang pertama, melegakan diri sendiri. Yang kedua, dapat menjadi pelajaran bagi yang mendengarkan atau membaca cerita. Kata orang sih begitu. Dan aku percaya yang pertama. Karena aku suka menulis. Dan aku menjadi lega karenanya.
Menjadi salah satu murid yang diterima di perguruan tinggi jurusan ekonomi pembangunan, awalnya membahagiakan. Sejak bersekolah di sekolah menengah pertama, aku selalu membayangkan manisnya pelajaran yang mempelajari perilaku manusia dalam menggunakan sumber dayanya tersebut. Di sekolah menengah atas, bahkan aku sering ditunjuk untuk membacakan hasil neraca atau laporan laba rugi hasil pengerjaanku. Semakin membuatku (besar kepala) jatuh cinta. Ya, aku mencintai pelajaran ini sejak lama.

Namun, ketika kuinjakkan kaki di perguruan tinggi, ternyata bayanganku mengenai ekonomi yang hanya bercerita tentang perilaku manusia dalam mengalokasikan sumber dayanya, buyar. Memang pada dasarnya ekonomi itu yang pelajaran perilaku manusia, namun di perguruan tinggi lebih dikonsentrasikan. Ada dua ilmu yang dipelajari disana. Ilmu inti (core) dan ilmu konsentrasi (field). Ilmu inti (core) diantaranya ada ilmu mikro ekonomi yang menjelaskan perilaku manusia untuk menentukan keputusan pada tingkat rumah tangga atau perusahaan, ilmu ekonomi makro yang menjelaskan mengenai pengambilan kebijakan pada ranah negara atau pemerintahan, serta ilmu alat (matematika) yang diantaranya ada matematika ekonomi, statistika, dan ekonometrika yang memudahkan dalam menyederhanakan masalah. Semua jurusan di fakultas ekonomi (akuntansi, manajemen, ekonomi islam) pasti pernah memperoleh mata kuliahnya meskipun tidak sedalam di jurusan ekonomi pembangunan. Sedangkan ilmu konsentrasi (field) masih dibagi lagi menjadi lima konsentrasi (kalau di Unair begitu), ada ekonomi moneter yang mempelajari tentang kebanksentralan, ekonomi internasional yang mempelajari tentang kebijakan hubungan negara satu dengan negara lain terutama masalah kebijakan perdagangan (namun berbeda dengan bisnis internasional, ekonomi internasional lebih kepada menentukan kebijakannya), ekonomi publik mempelajari tentang pengeluaran dan belanja negara (APBN) termasuk di dalamnya ada pajak, ekonomi lingkungan yang mempelajari tentang sumber daya alam, serta ekonomi perencanaan dan pembangunan yang mempelajari tentang aspek pembangunan (kesehatan, pendidikan, kelembagaan).


Kebetulan aku memilih konsentrasi yang terakhir, ekonomi perencanaan dan pembangunan. Aku menyukainya saja. Sejak awal melihat skripsi-skripsi di ruang baca, aku ingin menulis mengenai kemiskinan (yang lalu pada akhirnya aku memilih menulis tentang urban poverty). Kemiskinan di perkotaan itu menarik. Kontras. Dan banyak yang bisa dipelajari darinya. Entah penyebabnya. Entah yang-ditimbulkannya. Selalu menarik. Dan beruntungnya, aku bertemu teman diskusi yang juga menarik. Dosen pembimbingku sendiri. Ibu Nurul yang selalu memberikanku masukan mengenainya.
Judulnya pengaruh karakteristik ekonomi dan sosial pada tingkat kemiskinan wilayah perkotaan di Indonesia. Aku menggunakan data Susenas kor empat triwulan. Memang, itu berarti aku juga harus belajar alat pengolahnya yang bagi kami dulu masih tergolong baru. Stata 13. Berminggu-minggu aku meng-google caranya, me-youtube langkah-langkahnya, meng-sms-i teman yang bisa untuk minta tolong mengajari. Sampai bisa. Setiap malam mengotak-atik sendiri aplikasinya. Dan fiuh. Aku bisa. Guruku benar, usaha tidak akan pernah mengkhianati hasil :D

Lulus menjadi sarjana ekonomi tahun lalu memang menyenangkan. Bapak simbok yang rela ke Surabaya (hanya) untuk melihatku maju beberapa detik bersalaman dengan dekan. Beberapa detik. Yang tidak menyenangkan adalah, setelah itu aku mau ngapain? Menambah jumlah sarjana menganggur di Indonesia? Hoho.

Aku ingin mengabdi. Dimana saja. Cita-citaku sejak awal adalah menjadi pengajar di daerah pelosok dengan masyarakat yang tingkat kemiskinannya sudah melewati batas. Seperti skripsiku, pendidikan adalah salah satu aspek pembangunan yang dapat mempengaruhi tingkat status kemiskinan. Iya, ini terlalu idealis. Terlalu film banget. Dan yang pasti, terlalu tidak boleh oleh keluarga untuk merantau lagi.

Lalu dengan keberanianku di tengah-tengah masa mengabdiku di pesantren, aku memohon-mohon kepada ketua pemuda desa untuk membuat sanggar bimbingan belajar (bimbel) joglo. Bertempat di joglo dusun, aku mengadakan bimbel untuk anak sekolah. Dan tidak seperti yang aku duga, sambutannya luar biasa. Banyak anak yang berdatangan dari kelas satu sampai kelas sembilan yang saat itu sedang mempersiapkan ujian nasionalnya. Tujuanku selain agar anak-anak belajar setelah mengaji maghrib, adalah agar anak-anak tidak melulu menonton sinetron. Namun, ada satu hal yang aku sadari, yang sejak awal tidak pernah aku perhatikan, ternyata aku hanya sendiri. Mengajari banyak anak dengan berbagai macam kelas, aku tidak bisa melakukannya dalam satu waktu. Aku membutuhkan teman. Akhirnya karena berbagai hal, berbagai kendala, berbagai kesibukan, dan berbagai masukan dari orang lain, bimbel itu diberhentikan. Terpukul, iya. Tapi aku harus realistis. Aku hanya sendiri.

Ditengah-tengah proses berjalan mencari kegiatan, aku ingin mencoba bekerja. Dan kebetulan seseorang menawariku untuk membantu pekerjaannya. Menghitung pengeluaran perusahaan. Perusahaan kecil, memang. Dan aku mau saja mencoba. Sampai disana, aku belajar banyak hal. Ternyata pekerjaan menghitung pengeluaran, tidak hanya menghitung uang saja. Aku menjadi bagian dari administrasi sebuah proyek pembangunan. Ya. Ini adalah sebuah perusahaan konstruksi yang berhubungan dengan pemerintah. 

Dan aku belajar lagi. Mengenai banyak hal. Hubungan dengan dinas pekerjaan umum, dinas sumber daya air, dinas pariwisata, badan lingkungan hidup sampai kementerian agama. Insting ekonomi perencanaan dan pembangunan-ku dipakai. Ternyata membangun suatu daerah tidak hanya melalui satu kebijakan. Banyak kebijakan yang harus diputuskan dari berbagai sudut pandang. Dari pemerintah yang mau merealisasikan program kerjanya, dari masyarakat yang memang mebutuhkan pembangunan namun apakah tepat waktu atau tidak, dari pihak swasta (perusahaan konstruksi) yang membantu merealisasikan program kerja pemerintah. Dan sudut pandang ini selalu menimbulkan pro dan kontra. Entah masalah ketika proses pembangunan yang pasti memakan banyak waktu. Entah masalah yang timbul di lokasi pembangunan saat proyek berjalan. Entah masalah yang ditimbulkan setelah pembangunan selesai. Entah masalah dengan masyarakat setempat. 

Menarik. Ya, berkegiatan itu selalu menarik. Banyak pelajaran yang bisa diambil dari setiap bertemu dengan orang. Menurutku, setiap orang yang datang dan pergi memberi pelajaran baru, membawa ‘soal’ ujian baru agar suatu saat dapat lulus dalam menaiki anak tangga kehidupan. Meski terkadang tak lulus ujian, orang tak akan pernah dikeluarkan dari sekolahnya. Karena, di sekolah kehidupan, tidak lulus maka mengulang. Bukan dikeluarkan.

Hari ini aku ingin bersyukur lebih banyak lagi. Aku dipertemukan oleh Allah dengan banyak orang baik yang pasti selalu ada di setiap anak tangga kehidupan. Aku bersyukur. 

Kembali lagi, menjadi salah satu murid yang diterima di perguruan tinggi jurusan ekonomi pembangunan itu, awalnya menyenangkan. Dan ternyata akhirnya lebih menyenangkan. Benar kata orang, lakukan apa yang kamu sukai dan sukai apa yang kamu lakukan. Meski memang, menjadi seorang ekonomi itu harus menjadi ahli matematika, sejarawan, negarawan, filsuf, dalam beberapa hal harus agung dan mulia seperti seniman, namun terkadang harus membumi seperti politisi. Itu ungkapan John Meynard Keynes (di salah satu buku makroekonomi yang selalu aku ingat). Namun, meski tak ahli segalanya, menjadi orang bersyukur itu hanya butuh menjadi ahli menerima, bukan?

Jogja, 2 Juli 2016

Postingan populer dari blog ini

Huququl Qorobah (Hak-hak Kerabat/saudara)

Catatan Ramadhan : Adabul Mu'asyaroh (Adab-adab dalam pergaulan)

#Masak : Sushi Lele